Artikel ISD bag. 2

Masalah Larangan Merokok

Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso kini melansir kebijakan baru tentang larangan merokok di tempat umum. Banyak masyarakat khususnya di DKI Jakarta kaget dengan adanya kebijakan baru ini. Bukan karena larangannya, tetapi lebih karena hukumannya yaitu denda Rp. 50 juta dan kurungan 6 bulan. Keterkejutan publik, secara sosiologis layak dipahami. Alasannya, hingga detik ini, bahaya rokok di Indonesia masih menjadi "isu pinggiran". Kebanyakan para ulama di Indonesia hanya memberikan fatwa merokok berhukum makruh. Berbeda dengan pendapat ulama di berbagai negara memfatwakan bahwa merokok haram hukumnya. Sebenarnya masyarakat sudah mengerti tentang bahaya merokok, karena dalam setiap bungkus rokok tertulis peringatan bahwa: merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, ganguan kehamilan dan janin.
Dari sisi kesehatan, kepulan asap rokok mengandung 4000 racun kimia berbahaya, dan 43 diantaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Diantara zat-zat berbahaya itu adalah tar, karbon monoksida (CO), dan nikotin. Asap rokok bukan hanya berdampak pada si perokok aktif (active smoker) saja. Tetapi juga sangat serius bagi perokok pasif (passive smoker) karena ia akan menghirup dua kali lipat racun yang dihembuskan pada asap rokok tersebut. Sangat tidak adil, tidak merokok, tetapi malah menghirup racun dua kali lipat. Maka, salah satu cara untuk membatasi perilaku merokok “semau gue”, WHO mencanangkan program "Kawasan Tanpa Rokok" (KTR) di tempat-tempat umum. Progam seperti ini lazim diterapkan di berbagai negara, termasuk di ASEAN. Oleh sebab itu, kebijakan ini menjadi rasional dan layak mendapatkan dukungan publik. Hanya saja, yang perlu dipertanyakan adalah, selain besarnya denda, juga bagaimana mekanisme pelaksanaannya? Sebab, berbagai hal lain yang lebih konkrit dampaknya (banjir, sampah, dan kemacetan) hingga kini tidak pernah beres, apalagi masalah rokok? Kebijakan KTR (Pemda), sebenarnya bukan yang kali pertama. Peraturan Pemerintah No. 81/1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, yang kemudian diubah menjadi PP No. 19/2003; sudah lebih dahulu mengatur tentang larangan merokok di tempat-tempat umum. Sialnya PP tersebut tidak bisa memberikan sanksi. Tetapi malah memerintahkan agar setiap Pemda di Indonesia membuat aturan tersendiri tentang KTR (Perda). Apalagi WHO sekarang sudah menerapkan konvensi bernama FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). FCTC ini bukan hanya mengatur soal larangan merokok di tempat umum, setiap Pemerintah bahkan "dibimbing" untuk menanggulangi dampak tembakau secara elegan, dan komprehensif. Misalnya menaikan cukai rokok, larangan iklan di media massa dan promosi dan larangan penyeludupan (smuggling). Saat ini, FCTC sudah ditandatangani oleh lebih dari 160 negara anggota WHO, dan lebih dari 40 negara telah meratifikasinya, Sekarang FCTC sudah menjadi hukum internasional. Sayangnya, Pemerintah Indonesia, sebagai salah satu pengagas dan legal drafter, hingga batas akhir juni 2004, tidak menandatangani FCTC!

0 Response to "Artikel ISD bag. 2"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme